SULSEL.NEWS – Beberapa abad mereka telah hidup berdamai dengan alam dimana sungai, sawah dan hutan adalah nafasnya. Leluhurnya juga telah mewariskan adat istiadat untuk selalu patuh dan taat kepada pemerintahnya.
Kini, nelangsa menghinggapinya, pasca dipindahkan dari domisi awal akibat pembangunan waduk Bili-Bili, ratusan KK yang berdomisili di dekat waduk Bili-Bili kian gamang, pasalnya area dimana menetap merupakan area yang secara jelas merupakan kawasan terlarang.
Dibelakang kampung mereka merupakan kawasan hutan lindung, di depan mata mereka hamparan air dalam kawasan waduk adalah kesehariannya, regulasi secara gamblang menyebutkan apabila melakukan aktivitas baik sosial, kemasyarakatan apalagi ekonomi ancaman pidana menghantuinya.
Sehingga pepatah “itik mati di lumbung padi” seakan menjadi potret nyata bagi warga yang mendiami kelurahan Lanna dan Bontoparang Kecamatan Parangloe.
Berikut harapan dan tanggapan tiga Tokoh Utama Parangloe menyikapi sengkarut di area Waduk Bili-Bili
Syamsuddin Daeng Liwang, mantan Lurah Lanna menuturkan saat awal waduk Bili-Bili dibangun komitmen pemerintah tegas dan jelas, dirinya mengungkapkan tujuan dari kehadiran waduk adalah bagaimana kesejahteraan rakyat khususnya disekitar waduk dapat ditingkatkan
“Kami sempat dibawah studi banding saat awal waduk Bili-Bili hendak dimulai, jelas kami wajib dukung karena niatnya mulia yakni bagaimana kehidupan warga bisa sejahtera,” urai Liwang lewat ponselnya.
“Saat itu, ratusan KK pindah dengan kesadaran sendiri tanpa difasilitasi pemerintah, sejarah ini indah apabila dijadikan perekat kesatuan,” lanjutnya
Sementara, Muliadi Karaeng Kulle merasa ada perubahan kebijakan saat ini. Dirinya paham kewenangan pengelolaan Waduk Bili-Bili diberikan negara secara mutlak ke BBWS Pompengan Jeneberang dan warga dilibatkan merawat, mengelola dan menjaganya, namun realitas berkata lain, area terlarang baik di zona Sempadan atau green belt, penanganan, pengawasan tidak maksimal akibatnya banyak aktivis tambang beroperasi.
“Ironisnya, selain tidak mengantongi izin, pelaku tambang beroperasi tanpa mengindahkan regulasi yang ada, akibatnya warga lokal juga tergoda masuk ke area yang dilarang,” ujarnya.
Ditambahkan lagi, aktivitas Perusda yang digagas Pak Ichsan YL agar bisa menghasilkan PAD untuk Gowa saat itu tidak diberi ruang dan hari ini suasana makin runyam karena beberapa oknum Perusda ikut andil bermain di area sempadan.
“Libatkanlah orang lokal, kalau mereka ( pengusaha) dan Perusda Gowa bisa mengelola tambang maka kebijakan ini bisa berlaku untuk warga lokal. Kalau memang dilarang maka semuanya aktivitas dihentikan,” terangnya.
Ungkapan dua Tokoh Kecamatan Parangloe ini disempurnakan oleh Saleh Saud yang juga mantan Camat Parangloe. “Saya yakin Pemerintah akan terus berlaku adil bagi semua pihak khususnya warga lokal, jauh dari kegaduhan maka sebaiknya komunikasi tanpa batas (tanpa protokoler) dalam istilah Makassar Empo Sipitangarri menjadi langkah bersama agar masalah di area waduk dapat diselesaikan,” ungkapnya.
Karaeng Tompo Sapaannya pada Forum Discusion Group (FDG) secara intens mengatakan, melibatkan semua pihak akan menurunkan tensi soal konflik di waduk, warga akan patuh dan sudah menjadi sifatnya kepada Pemerintah (BBWS Pompengan Jeneberang) apabila diajak bicara dari hati ke hati.
“Persoalan waduk Bili-Bili terbilang banyak mulai dari area lesehan, aktivitas tambang, pengelolaan area waduk dijadikan area persawahan, tambak dan wisata), bahkan kami dengar sudah terbit SPPT di area bantaran dan sempadan waduk, sehingga tata kelola waduk Bili-Bili selain aktif disosialisasikan juga mencari kebijakan bagaimana warga diberdayakan. Keterlibatan Pemerintah Provinsi, Pemkab Gowa, DPR dan DPRD juga TNI/Polri untuk membahas secara menyeluruh menjadi langkah yang tepat,” urainya.
Ketiga tokoh utama Parangloe ini menyimpulkan, lemahnya kinerja BBWS Pompengan Jeneberang dalam sosialisasi, pengawasan dan komunikasi berakibat aktivis kegiatan di area waduk kian bertambah.
Ketiganya memperjelas sikapnya bahwa seluruh warga Parangloe akan tetap mendukung langkah BBWS Pompengan Jeneberang apalagi berorientasi pada kesejahteraan warga dan lestarinya waduk Bili-Bili.
Suasana di sekitar waduk Bili-Bili agak dinamis, pasca salah satu perusahaan tambang melaporkan pihak BBWS Pompengan Jeneberang ke Polda Sulsel dilanjutkan laporan hasil survey secara menyeluruh yang dilakukan konsultan engineering di publish ke publik melalui kegiatan Pertemuan Konsultasi Masyarakat (PKM-2) di Baruga Karaeng Galesong Pemkab Gowa, dimana disimpulkan secara hukum dan berdasarkan dampak dari sporadis aktivitas tambang di area waduk disampaikan tidak boleh ada kegiatan atau aktivitas di area terlarang.
Penulis:.Yusrizal Kamaruddin