SULSEL.NEWS – Di sebuah rumah sederhana di La’nyara, Desa Moncongkomba, Kecamatan Polongbangkeng Selatan, hidup seorang warga bernama Daeng Nyengka.
Tubuhnya kini lemah, terbaring karena penyakit komplikasi yang telah dideritanya hampir setahun lamanya. Tak ada pengobatan rutin, tak ada jaminan kesehatan, bahkan sembako pun tak lagi tersentuh di dapurnya.
Beberapa bulan terakhir, kehidupan Daeng Nyengka hanya bertumpu pada kepedulian tetangga yang sesekali datang membawa nasi atau segenggam beras. Namun di balik dinding rumah kayu yang mulai rapuh itu, ada kisah pilu tentang kehidupan yang benar-benar terpinggirkan.
“Kasihan sekali, Nak… dia sakit parah, tapi tidak punya apa-apa. Kami tetangganya hanya bisa bantu sekadarnya,” tutur seorang warga yang enggan disebut namanya dengan suara bergetar.
Tidak ada BPJS, tidak pernah tersentuh bantuan sosial, dan bahkan tidak tercatat sebagai penerima sembako dari pemerintah. Padahal, di saat banyak pihak sibuk membicarakan bantuan untuk rakyat kecil, Daeng Nyengka justru seolah dilupakan di tanahnya sendiri.
Tubuhnya semakin kurus, pandangannya redup menatap langit-langit rumah. Sesekali ia mencoba tersenyum ketika ada yang datang menjenguk, senyum lemah yang seolah berkata, “Saya masih hidup, walau tak tahu sampai kapan.”
Kini, di tengah gencarnya program pemerintah tentang kesejahteraan dan perlindungan sosial, kisah Daeng Nyengka menjadi tamparan keras bagi nurani semua pihak. Masih ada warga miskin, sakit, dan lapar yang bahkan tak tercatat dalam daftar bantuan.
Apakah mata hati pemerintah sudah sedemikian tumpul, hingga tak lagi melihat penderitaan seperti ini?
Apakah arti kemerdekaan dan keadilan sosial, bila di sebuah rumah reyot di Moncongkomba, masih ada rakyat yang bertarung antara hidup dan mati dalam kesunyian?
Daeng Nyengka mungkin tidak bersuara lantang menuntut haknya. Ia hanya berdiam, berharap masih ada tangan-tangan manusia berhati nurani yang mau datang mengulurkan bantuan sebelum semuanya terlambat. (*/Dg Kawang)







