SULSEL.NEWS — Sejumlah hasil survei berseliweren menjelang Pilwalkot Makassar 2020. Ironisnya, hasil survei elektabilitas dari berbagai lembaga tersebut berbeda-beda dalam mengunggulkan pasangan calon (Paslon).
Kondisi itu membuat publik tentunya menjadi bingung membaca peta politik bila merujuk dari hasil survei kandidat.
Akademisi dari Polinas LP3I Makassar, Anugerah Amir, menyatakan fenomena klaim unggul dari hasil survei elektabilitas menjelang pilkada sudah lumrah terjadi. Olehnya itu, publik harus cerdas dalam membaca dan mengamati hasil survei. Musababnya, bisa jadi survei itu merupakan pesanan kandidat atau lembaga survei tersebut berafiliasi dengan kandidat.
“Publik memang harus hati-hati membaca hasil survei, apalagi menjelang hari pemilihan. Biasanya mendadak banyak muncul hasil survei elektabilitas kandidat yang hasilnya berlawanan, semisal lembaga survei A mengunggulkan B dan lembaga survei B memenangkan A,” ucap pria yang akrab disapa Anjas ini, Rabu (14/10/2020).
Ia juga menegaskan bahwa hasil survei bukanlah penentu kemenangan atau acuan hasil pilkada. Hasil survei sebatas potret dari dinamika peta politik, itupun jika benar-benar dilakukan sesuai kaidah penelitian.
“Ya hasil survei itu bukan penentu kemenangan, bukan pula ‘kitab suci’ yang mana hasilnya merupakan kebenaran, apalagi banyak pengalaman hasilnya tidak akurat,” ucap.
Salah satu cara mengetahui keandalan survei elektabilitas kandidat, Anjas menyebut selain membedah data juga bisa dengan mengecek rekam jejak lembaga survei. Bila track record lembaga survei itu selalu tepat, artinya dapat dipercaya. Sebaliknya, bila hasil surveinya sering keliru ditambah lagi punya kedekatan dengan kandidat, maka jangan dipercaya.
“Sederhana saja kok, lihat rekam jejak lembaga survei itu. Kalau hasil surveinya selama ini selalu tepat atau paling tidak mendekati realitas ya artinya bisa dipercaya. Namun, kalau lembaga surveinya sering keliru, lebih banyak melencengnya ya jangan dipercaya.”
“Hal lain yang juga dapat diperhatikan adalah lihat rekam jejak tokoh dari lembaga survei. Kalau dia dekat dengan kandidat, sulit untuk dipercaya karena kemungkinan objektif. Bahkan, bisa saja hasil survei yang dikeluarkan itu adalah pesanan kandidat,” sambung alumni UMI Makassar ini.
Di Pilwalkot Makassar 2020, sejumlah lembaga survei merilis hasil kerjanya dengan hasil yang berbeda-beda dalam rentang waktu hampir bersamaan. Profetik Institute misalnya mengunggulkan Appi-Rahman. Lalu, Indeks Politica Indonesia (IPI) menempatkan Danny Pomanto-Fatmawati teratas tapi selisih tipis dengan Appi-Rahman. Sedangkan, Celebes Research Center (CRC) menunggulkan Danny Pomanto-Fatmawati jauh dari rivalnya.
Bila diamati dan dicari rekam jejaknya, mayoritas lembaga survei itu kerap keliru sehingga patut diragukan. IPI bahkan berulang kali meleset dalam mengeluarkan hasil survei elektabilitas kandidat. Di antaranya saat Pilkada Gowa 2015 dan Pilkada Wajo 2018.
Di Pilkada Wajo 2018, IPI setidaknya dua kali merilis hasil survei elektabilitas yang menggunggulkan paslon Baso Rahmanuddin-KH Anwar Sadat (Barakka) ketimbang Amran Mahmud-Amran (Pammase). Bahkan, di survei terakhir IPI dinyatakan elektabilitas Barakka unggul 19,5% dari Pammase. Namun, hasil Pilkada Wajo 2018 ternyata dimenangkan Pammase.
Hal serupa juga terjadi pada Pilkada Gowa 2015. Kala itu, IPI beberapa kali merilis bahwa dari lima paslon, Tenri Olle YL-Hairil Muin unggul dibandingkan rivalnya. Namun, Pilkada Gowa 2015 nyatanya malah dimenangkan oleh Adnan Purichta Ichsan YL-Abd Rauf Malaganni.
Selanjutnya, CRC pernah membuat ‘kesalahan’ besar pada Pilkada Takalar 2017. Kala itu, lembaga survei tersebut mengunggulkan petahana Bur-Nojeng dengan elektabiltas mencapai 61,3%. Namun, hasilnya malah SK-HD yang disebut CRC hanya punya elektabilitas 29,8% tampil sebagai pemenang di Pilkada Takalar 2017. (*)
Editor: admin