Menanti Tuntutan Maksimal JPU Dalam Perkara Dugaan Penipuan Eks Bendahara Brimob Polda Sulsel

NEWS414 Dilihat

SULSEL.NEWS – Perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan yang mendudukkan eks Bendahara Brimob Polda Sulsel, Iptu Yusuf Purwantoro sebagai pesakitan mendekat ini akan memasuki tahapan pembacaan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Penuntutannya itu setelah tahapan pemeriksaan terdakwa (pesakitan) Rabu mendatang. Kemarin sidangnya sempat ditunda karena Majelis Hakim tidak lengkap,” kata Ridwan Saputra, JPU dalam perkara pidana dugaan penipuan tersebut pekan lalu di Pengadilan Negeri Makassar.

Menanggapi gambaran tuntutan JPU kepada terdakwa nantinya, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Makassar diantaranya Lembaga Pusat Kajian Advokasi Anti Korupsi (PUKAT) Sulsel pun turut memberikan masukan sekaligus tantangan kepada JPU agar berani bersikap tegas dan tidak lari dari sikap optimisme bahwa sejak awal unsur dugaan pidana penipuan dan penggelapan sebagaimana yang didakwakan kepada terdakwa telah terpenuhi secara sempurna.

“Saya kira JPU harus tetap optimis dengan memberikan tuntutan maksimal dan meminta kepada Hakim memerintahkan agar terdakwa ditahan. Keyakinan JPU akan titik terang perkara ini sejak awal terbangun. Alat bukti telah terpenuhi sehingga perkara ini sebelumnya dinyatakan lengkap (P.21) dan berhasil dibawa hingga ke persidangan pidana,” kata Direktur Pusat Kajian Advokasi Anti Korupsi (PUKAT) Sulsel, Farid Mamma saat dimintai tanggapannya soal gambaran tuntutan yang bakal diberikan JPU terhadap eks Bendahara Brimob Polda Sulsel, Iptu Yusuf Purwantoro dalam perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan di Kantornya di Jalan Cenderawasih, Makassar, Minggu (5/4/2020).

Menurutnya, tuntutan maksimal oleh JPU nantinya tidak bisa diartikan sebagai sikap kesewenang-wenangan. Melainkan kata Farid, hal itu telah sesuai dengan fakta hukum yang ada.

“Kalau mencermati sejak awal fakta persidangan, unsur delik pidana yang dituduhkan kepada terdakwa itu telah terpenuhi sempurna utamanya unsur dugaan penipuan yang terangkum dalam pasal 378 KUHPidana,” ujar Adik mantan Waka Bareskrim Polri, Irjen Pol (Purn) Syahrul Mamma itu.

Ia mengatakan jika mencermati rumusan pasal 378 KUHPidana tentang tindak pidana penipuan yang berbunyi “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun” itu, maka unsur-unsur dalam perbuatan penipuannya adalah pertama dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan).

Kemudian unsur dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum dan unsur terakhir yakni menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.

Kaitannya dengan perkara yang menjerat eks Bendahara Brimob Polda Sulsel yang sementara berjalan di persidangan, kata Farid, bisa dilihat dengan jelas dan sangat terang unsur dugaan penipuannya terpenuhi.

Dimana terdakwa (eks Bendahara Brimob Polda Sulsel), itu melakukan perbuatan yang dapat dinilai sebagai perbuatan penipuan karena ia memperdayai korbannya (A. Wijaya) dengan akal cerdik atau tipu muslihat dengan cara mengambil hati korban seakan-akan hanya korban saja yang bisa membantunya disertai iming-imingan bunga dan hadiah lainnya serta batas tempo pengembalian yang tidak terlalu lama alias hanya sepekan setelah uang kas negara cair dan ditransfer ke rekening Bendahara Brimob Polda Sulsel, sehingga korban mau memberikan bantuan pinjaman uang senilai Rp1 miliar.

“Tapi kenyataannya itu semuanya tidak ada alias fiktif hingga saat ini. Dari fakta persidangan juga malah terungkap fakta hukum bahwa terdakwa juga melakukan rangkaian kebohongan untuk memperdayai korbannya,” terang Farid.

Rangkaian kebohongannya, beber Farid, terungkap dari keterangan terdakwa sendiri di dalam persidangan bahwa uang yang ia dapatkan dari korban kemudian diserahkan ke mantan atasannya, Kombes Pol Totok Lisdiyanto untuk tujuan bisnis tanah.

Saksi Totok, dalam keterangannya di persidangan turut mengakui jika ia betul menerima uang miliaran rupiah dari terdakwa untuk digunakan bisnis tanah dan hingga saat ini tanah yang dimaksud belum terjual.

“Tapi saya tidak tahu mengenai adanya perikatan perjanjian antara terdakwa dengan Pak Jaya (korban). Saya memang meminta ke terdakwa carikan uang senilai Rp1 miliar lebih untuk bisnis tanah. Kebetulan terdakwa juga bagian dari tim pengurusan bisnis tanah ini. Soal sumber uang, terdakwa sempat beri tahu jika sumbernya dari Pak Jaya. Tapi sekali lagi soal adanya perjanjian dan kemudian bermasalah saya tidak tahu itu,” ungkap Totok dalam keterangannya di dalam persidangan sebelumnya yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Zulkifli didampingi Hakim Anggota Heyneng dan Suratno.

Dengan adanya keterangan terdakwa dan saksi mantan atasannya itu didalam persidangan, kata Farid, malah mempertegas adanya unsur rangkaian kebohongan sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 KUHPidana tentang penipuan.

Dimana saat kejadian menurut korban, terdakwa bermohon bantuan agar dipinjamkan uang oleh korban senilai Rp1 miliar untuk tujuan kegiatan mendesak dalam hal ini menyelesaikan tunggakan tunjangan kinerja (Tukin) anggota Brimob yang telah jatuh tempo.

Seiring berjalan waktu, atau tepatnya jelang memasuki batas tempo pengembalian uang yang dijanjikan oleh terdakwa bahkan iming-imingan manis terdakwa hingga saat ini tak ada yang nyata.

Malah, beber Farid, sejak korban berupaya meminta pengembalian uangnya itu, terdakwa selalu memberikan alasan-alasan palsu yang pada dasarnya tak ada itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya yakni mengembalikan uang milik korban.

Tak sampai disitu, rangkaian kebohongan selanjutnya kembali terungkap dari pengakuan saksi lainnya, Bripka Haerul Khalam, staf Bendahara Brimob Polda Sulsel saat memberikan kesaksian didalam persidangan.

Kepada Majelis Hakim, Saksi Haerul mengatakan bahwa dirinya menerima uang tukin secara manual (cash) melalui juru bayar Bendahara.

“Sering terlambat menerima uang tukin yang mulia,” ungkap Haerul menjawab pertanyaan Majelis Hakim saat ditanya mengenai mekanisme penerimaan uang tukin di internal Brimob Polda Sulsel kala itu.

Hal itu mendapat bantahan dari terdakwa. Menurut terdakwa mengatakan sesuai Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) tahun 2015, bahwa uang tukin diterima oleh personil melalui via transfer ke rekening masing-masing personil.

“Jadi yang dikatakan oleh saksi Haerul itu tidak benar yang mulia,” ucap Yusuf, terdakwa menanggapi keterangan saksi Bripka Haerul saat itu.

Atas perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan korban menelan kerugian jauh lebih besar lagi. Selain ia harus menanggung beban bunga bank karena uang yang diberikan ke terdakwa merupakan uang bank yang jaminannya sertifikat rumah tantenya dan pekerjaan korban turut terbengkalai.

“Bahkan korban mengeluarkan biaya yang tak sedikit selama menghadapi masalahnya ini,” kata Farid.

Ia berharap sekaligus menantang JPU nantinya agar memberikan tuntutan maksimal terhadap terdakwa yang tak hanya mencoreng citra lembaga negara dalam hal ini Institusi Kepolisian khususnya Satuan Brimob karena profesi terdakwa yang masih berstatus sebagai anggota Polri aktif.

“Tentu sangat disesalkan sebagai oknum penegak hukum seharusnya terdakwa tidak tersandung kasus melawan hukum. Malah jika dicermati kasus yang menjeratnya, sejak awal memang terdakwa sudah ada niat jahat (mens rea) untuk memuluskan perbuatan jahatnya (actus reus),” Farid menandaskan.

Diakhir penjelasannya, Farid dengan tegas mengatakan bahwa unsur perbuatan dugaan pidana yang dituduhkan JPU sejak awal kepada terdakwa sebagaimana tertera dalam pasal 378 KUHPidana tentang penipuan telah terpenuhi secara sempurna.

Dan hal itu, lanjut dia, juga telah memenuhi kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601 K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang menyebutkan bahwa “unsur pokok penipuan (Pasal 378 KUHPidana) terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang”.

Dan “Apabila si pelaku sengaja memiliki niat untuk menipu dengan tidak mengembalikan hutangnya, dengan pembuktian sudah ditagih, maka hal itu memenuhi unsur penipuan sebagaimana rumusan di atas, maka perbuatan itu adalah perbuatan pidana.

“Sehingga korban sudah tepat telah melaporkan pelaku tersebut ke Kepolisian,” tegas Farid.

Kronologi Kasus yang Jerat Eks Bendahara Brimob Polda Sulsel

Dalam perkara dugaan pidana penipuan bernomor 115/Pid.B/2020/PN Mks, Jaksa Penuntut Umum mendakwa mantan Bendahara Brimob Polda Sulsel, Yusuf Purwantoro dengan ancaman dakwaan primer Pasal 378 KUHPidana yang ancaman pidananya maksimal 4 tahun penjara.

Polisi berpangkat Inspektur Polisi Satu itu terjerat perkara dugaan penipuan saat ia menemui korbannya, A. Wijaya di Kabupaten Sidrap untuk meminta tolong dipinjamkan uang sebesar Rp1 miliar dengan alasan ingin membayar uang tunjangan kinerja (tukin) seluruh personil Brimob Polda Sulsel yang sebelumnya telah ia gunakan guna kebutuhan lain.

Karena mengingat terdakwa merupakan kawan sekolahnya dulu, korban pun memberikan bantuan dana sesuai yang diminta oleh terdakwa melalui via transfer.

Namun belakangan uang yang dipinjam tersebut, tak kunjung dikembalikan oleh terdakwa hingga batas tempo yang dijanjikan. Terdakwa malah belakangan terus menghindar dengan memutuskan komunikasi dengan terdakwa.

“Itikad baiknya hingga saat ini memang sudah tak ada,” kata korban, A. Wijaya.

Atas perbuatan terdakwa, selain menanggung kerugian besar, korban juga malu dengan keluarganya khususnya tantenya yang meminjamkan uang kepadanya.

“Uang yang saya berikan ke terdakwa itu uangnya tante dari hasil gadai sertifikat rumah di Bank. Jadi karena perbuatan terdakwa, saya harus menanggung beban membayar uang Bank,” terang Wijaya.

Ia berharap Majelis Hakim nantinya bisa menghukum terdakwa dengan hukuman maksimal agar kedepannya, terdakwa tak lagi mengulangi perbuatannya.

“Saya hanya minta keadilan kepada Majelis Hakim nanti agar terdakwa yang nota bene seorang penegak hukum bisa diganjar dengan hukuman berat karena dia telah menipu kami masyarakat kecil begini. Jaksa juga saya harapkan berikan tuntutan maksimal karena dalam fakta sidang unsur perbuatan pidana yang dituduhkan ke terdakwa itu sudah terpenuhi sempurna,” ungkap Wijaya

Selain pengakuan beberapa saksi tentang adanya peminjaman uang yang dilakukan terdakwa kepada korban senilai Rp1 miliar itu terungkap di dalam persidangan, juga adanya dukungan alat bukti lainnya berupa bukti transferan uang hingga salinan percakapan via pesan singkat terkait peminjaman uang oleh terdakwa ke korban yang dihadirkan JPU ke persidangan sebelumnya.

“Kami harap sekali lagi agar Majelis Hakim beri hukuman maksimal kepada terdakwa sebagaimana perbuatan terdakwa terbukti jelas dalam persidangan,” Wijaya menandaskan. (*/rls)

Editor: admin