Kisruh Sporadik Tanah di AP Pettarani, Camat Panakkukang Ditekan DPRD: Jika Diminta, Kami Siap Batalkan

SULSEL.NEWS – Polemik penerbitan sporadik tanah di Jalan AP Pettarani, Kelurahan Sinrijala, Kecamatan Panakkukang, kembali mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPRD Kota Makassar Komisi C dan pihak Kecamatan Panakkukang. Isu ini memicu ketegangan setelah muncul dugaan penerbitan dokumen tanpa dasar hukum yang kuat.

Camat Panakkukang, Muhammad Ari Fadli, saat ditemui usai RDP di kantor DPRD Kota Makassar, menegaskan bahwa pihaknya berada di posisi netral dalam sengketa tanah yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tersebut.

“Kami berada di tengah-tengah karena ini sudah melalui proses hukum panjang, dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, hingga PK 1 dan PK 2. Bahkan, objek sengketa sudah dieksekusi,” jelas Ari Fadli.

Ia juga menggarisbawahi bahwa sporadik bukanlah bukti kepemilikan tanah, melainkan hanya keterangan penguasaan atas lahan. Namun jika hasil RDP meminta pembatalan, pihak kecamatan siap menindaklanjuti.

“Kalau rekomendasi RDP adalah menahan atau membatalkan sporadik, maka itu akan menjadi dasar hukum kami. Tidak ada masalah,” tegasnya.

Namun pernyataan itu mendapat respons tajam dari anggota DPRD Makassar Komisi D, Imam Musakkar. Ia menuding Camat Panakkukang tidak transparan dan diduga berada di bawah kendali oknum yang disebut-sebut terlibat dalam jaringan mafia tanah.

“Kalau camat memang berpihak pada masyarakat, seharusnya sporadik tidak terbit sejak awal. Ini malah dikeluarkan tanpa merujuk pada putusan pengadilan dan data dari BPN,” tegas Imam.

Ia juga menyinggung dugaan penyalahgunaan jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 KUHP, mengingat penerbitan sporadik dilakukan di tengah status hukum lahan yang masih menjadi polemik publik.

“Penerbitan itu bisa masuk ranah pidana. Bahkan jika belum diserahkan, fakta bahwa dokumen telah terbit adalah bentuk penyalahgunaan wewenang,” katanya.

Komisi C DPRD Kota Makassar pun memberikan rekomendasi tegas agar camat tidak menyerahkan sporadik tersebut kepada pihak mana pun. Rekomendasi itu akan menjadi pegangan hukum bagi pihak kecamatan untuk menunda atau membatalkan dokumen yang kini menjadi sumber keresahan warga.

Persoalan ini menambah daftar panjang kasus agraria di Kota Makassar yang kerap menempatkan masyarakat dalam posisi lemah, sementara dokumen administratif kerap kali menjadi alat legalisasi kepentingan pihak-pihak tertentu.

Kini, masyarakat menanti komitmen pemerintah dan DPRD untuk mengungkap kebenaran dan memastikan tanah yang disengketakan tidak jatuh ke tangan yang salah. (*)