SULSEL.NEWS – Manado, Provinsi Sulawesi Utara menggelar kegiatan
Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak. Kegiatan ini diinisiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan 11 Kementerian/Lembaga dan lebih dari 30 Organisasi/Lembaga masyarakat yang bergerak di bidang pendampingan anak dan perempuan.
Dikesempatan itu, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan Kemen PPPA, Rohika Kurniadi Sari mengajak untuk bersama-sama melakukan perubahan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Hal ini lantaran akan memiliki dampak yang sangat memprihatinkan bagi tumbuh kembang anak.
“Dampak Pendidikan: anak akan putus sekolah, dampak kesehatan: anak perempuan memiliki risiko kematian ketika melahirkan dan kurangnya gizi ibu dan anak, dampak Ekonomi: anak terpaksa bekerja dan menjadi pekerja anak, dampak Sosial: terjadi kekerasan dalam rumah tangga,” kata Rohika Kurniadi Sari.
Berdasarkan data BPS 2016, Provinsi Sulawesi Utara masuk dalam 23 daerah dengan angka perkawinan anak tertinggi yaitu menduduki peringkat ke 12, dengan angka perkawinan anaknya sebesar 31,72 persen.
Sementara data terbaru BPS 2018, dengan metode yang berbeda, merilis angka nasional perkawinan anak, sebesar 11,2 persen dan Provinsi Sulawesi Utara masuk dalam 20 daerah dengan angka perkawinan anak tertinggi, yaitu menduduki peringkat ke-9 dengan angka perkawinan anaknya sebesar 14,9 persen.
Untuk itu lanjutnya, pihaknya merasa perlu melakukan upaya kongkret mengatasi perkawinan anak yang angkanya cukup mengkhawatirkan, yaitu salah satunya melaksanakan mandat perintah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 terkait Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan khususnya pasal 7 ayat 1 yang awalnya mengatur tentang batas usia perkawinan untuk laki – laki berusia 19 tahun dan perempuan sudah mencapai 16 tahun.
“Ini merupakan sebuah bentuk diskriminasi dan bertentangan dengan konstitusi, sehingga usia perkawinan untuk pihak laki – laki dan perempuan dinaikan dan disamakan menjadi 19 tahun,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Dinas PPPA Provinsi Sulawesi Utara Mieke Pangkong menyampaikan bahwa perkawinan anak merupakan sebuah bentuk praktik yang sangat potensial merugikan tumbuh kembang anak dan perlindungan anak. Oleh karena itu, menikah pada usia anak adalah hal yang sangat mutlak untuk ditolak.
“Saya berharap kampanye ini dapat mendorong adanya payung kebijakan dalam pencegahan dan penghapusan terhadap praktik perkawinan anak. Karena, upaya yang kita lakukan saat ini adalah mengubah mindset, baik dari para pengambil keputusan maupun masyarakat dan keluarga, bahwa perkawinan anak sangat merugikan bagi negara, masyarakat, bahkan anak itu sendiri,” demikian, Mieke. (*)
Editor: admin