SULSEL.NEWS – Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif tak hanya penting dari aspek perimbangan antara laki-laki dan perempuan, namun lebih dari itu, kehadirannya di parlemen diharapkan akan mampu menjadi representasi untuk menjamin kepentingan kaum perempuan.
Hanya saja untuk mewujudkan hal tersebut, perjuangan caleg perempuan untuk mendapatkan jatah kursi di parlemen tidaklah mudah, harus didukung dengan strategi yang efektif.
Pengamat poltik UIN Makassar
Firdaus Muhammad menilai, kerasnya perjuangan caleg perempuan untuk mendapatkan jatah kursi di parlemen disebabkan karena farktor tingkat kepercayaan pemilih kepada perempuan masih rendah dibanding laki laki, meski
pemilh terbanyak itu adalah perempun tetapi kecendurang pemilih perempuan tidak mutlak memilih perempuan.
“Jadi memang dalam prosesnya ada perbedaan – perbedaan, ditambah lagi persepsi masyarakat masih minim terhadap perempuan, juga karena melihat kinerja anggota legislatif dari perempuan kurang maksimal misalnya dari kontribusinya ketika memberi pernyataan mengemukakan pendapat masih minim itu juga berdampak kepada potensi terpilihnya caleg perempuan,” kata Firdaus Muhammad, via telpon, Selasa (18/12/2018).
Selain itu lanjutnya, melihat potensi caleg perempuan yang ada banyak yang pemula sehingga dibutuhkan kerja keras untuk bisa meyakinkan masyarakat calon pemilih termasuk pemilih perempuan
“Jadi untuk bersaing dengan caleg laki – laki memang harus bekerja keras karena dari persepsi awal masyarakat yang berbeda, disamping juga caleg yang diajukan mungkin saja belum memenuhi harapan masyarakat. Itu juga memungkinkan menjadi salah satu faktor minimnya pemilih perempuan memilih caleg perempuan,” lanjutnya.
Karena itu lanjutnya lagi, caleg perempuan harus menunjukkan kesetaraannya dalam hal kemampuan menjadi caleg supaya nanti ketika diparlemen tidak lagi dilihat perbedaan antara laki – laki atau perempuan tetapi dilihat dari potensi atau kemampuannya.
“Kecakapannya ketika berbicara, kecerdasannya meyakinkan publik sangat diharapkan. Jadi ketika mereka berbicara sama saja dengan caleg laki – laki, juga track recordnya. Sebaliknya, jika
di publik tidak banyak bicara, tidak punya konsep yang jelas isu isunya juga tidak marketable bisa – bisa mempengaruhi suara perempuan tetap stagnan. Harua ada tawaran tawaran baru
Lalu bagimana dengan strategi door to door ? Menurut Firdaus Muhammad, kampanye dengan cara seperti itu sangat memungkin karena dibatasinya pemasangan baliho, dan masa kampanye yang panjang. Hanya saja, hal yang sama juga dilakukan oleh caleg laki – laki.
Untuk itu lanjutnya, caleg perempuan ketika melakukan door to door harus mampu menciptakan gagasan, ide ataupun perlakuan kepada calon pemilih harus berbeda dengan caleg laki – laki.
“Dibanding caleg laki – laki, kebutuhan pemilih perempuan utamannya kaum ibu – ibu itu lebih cepat dipahami oleh caleg perempuan. Kebutuhan juga tidak muluk – muluk, seperti menyangkut pendidikan anak -anaknya, kesehatan, keharmonisan keluarga, ataupun perlindungan KDRT. Yang bisa lebih cepat menjiwai dan memahami itu perempuan,” tandasnya.(*)
Penulis: Farhan