Bersama Kejaksaan, Pemkot Makassar Teken MoU Terapkan Pidana Kerja Sosial Berkeadilan

NEWS8 Dilihat

SULSEL.NEWS – Suasana Baruga Asta Cita, Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, menjadi saksi lahirnya komitmen besar pemerintah Kabupaten dan Kota se-Sulsel dalam memperkuat penegakan hukum yang lebih humanis dan berkeadilan. Pada Kamis (20/11/2025),

Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, turut menghadiri kegiatan penandatanganan Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama antara Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dengan Pemerintah Provinsi serta Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan, terkait penerapan pidana kerja sosial bagi pelaku tindak pidana ringan.

Momentum penting ini semakin bermakna dengan hadirnya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Prof. Dr. Asep N. Mulyana, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja).

Turut hadir pula Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman, jajaran Kejati dan Kejari se-Sulsel, serta para bupati dan Wali Kota, yang menunjukkan keseriusan mendukung pola penegakan hukum yang lebih efektif dan bermanfaat bagi masyarakat.

Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin menuturkan, kolaboratif ini sangat bermanfaat, terutama dalam menghadirkan pendekatan hukum yang lebih humanis dan berorientasi pada sosial.

Menurutnya, kegiatan ini, tidak hanya mendorong efisiensi penegakan hukum, tetapi juga membantu masyarakat membutuhkan pendampingan.

“Kebijakan ini dapat memperkuat sistem keadilan restoratif dan berpihak pada kepentingan publik,” singkatnya.

Pada kesempatan ini, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Prof. Dr. Asep N. Mulyana, menyampaikan pandangannya terkait arah pembaruan hukum nasional.

Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa hukum Indonesia ke depan tidak lagi bertumpu pada pendekatan-pendekatan lama yang berakar dari sistem hukum kolonial.

Selama ini, kata dia, paradigma hukum warisan kolonial dan Eropa kontemporer lebih menonjolkan aspek pembalasan dan pemenjaraan sebagai instrumen utama penegakan hukum.

“Sekarang kita sudah berada pada fase perubahan yang sejalan dengan arah pembangunan nasional, ketika kita berbicara Indonesia Emas, maka wajah hukum kita juga harus berubah,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional tidak semata-mata hadir untuk menggantikan produk hukum kolonial, tetapi membawa perubahan paradigma secara menyeluruh.

Dia juga menekankan bahwa Indonesia kini bergerak menuju sistem hukum yang mengutamakan pendekatan restoratif, korektif, dan rehabilitatif, sebagaimana telah dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Nasional 2025.

Paradigma baru ini memandang bahwa penjara tidak lagi harus menjadi pilihan utama dalam menjatuhkan hukuman. Dan tidak menjadikan pemenjaraan sebagai satu-satunya jalan.

“Di dalam paradigma korektif dan restoratif, kita melihat apa dampaknya bagi korban, bagaimana pelaku dapat diperbaiki, dan bagaimana proses hukum bisa memulihkan keadaan, bukan sekadar menghukum,” tegasnya.

Ia juga memaparkan bahwa banyak permohonan penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif yang masuk setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan non-pemenjaraan semakin dibutuhkan dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Oleh sebab itu, langkah Kejaksaan yang mendorong penerapan pidana kerja sosial sebagai salah satu instrumen hukum modern yang efisien, humanis, dan sejalan dengan arah kebijakan nasional.

“Ini adalah langkah maju. Mekanisme ini terbukti berhasil dan sangat bermanfaat bagi masyarakat,” pungkasnya.

Sedangkan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan, Didik Farkhan Alisyahdi, dalam sambutannya menyampaikan bahwa penerapan kebijakan baru terkait pidana kerja sosial akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.

Aturan ini lahir sebagai bagian dari upaya menata kembali sistem pemidanaan, yang selama ini dihadapkan pada beragam persoalan.

“Sebagaimana kerap ditemukan dalam laporan hasil pemeriksaan dan berbagai kajian normatif lainnya,” jelasnya.

Lanjut dia, selama ini, penegakan hukum menghadapi tantangan besar, terutama karena hampir seluruh sanksi bagi tindak pidana ringan masih berorientasi pada hukuman penjara.

“Akibatnya, lembaga pemasyarakatan mengalami kepadatan yang sangat tinggi,” lanjut dia.

Disebutkan bahwa jumlah penghuni penjara kini banyak. Untuk mengurangi overkapasitas itu, kejaksaan menyusun berbagai usulan dan ketentuan baru.

Salah satunya adalah penerapan pidana kerja sosial bagi pelaku tindak pidana ringan, seperti kasus-kasus sederhana, misalnya pencurian sandal atau barang kecil lainnya, yang sebenarnya tidak harus selalu berujung pada pemenjaraan.

“Pendekatan ini juga telah melalui berbagai proses kajian yang melibatkan ahli, termasuk akademisi,” tuturnya.

Harapannya, dengan adanya payung hukum dan koordinasi lintas instansi, kebijakan pidana kerja sosial ini dapat segera diterapkan secara efektif.

“Dan menjadi alternatif pemidanaan yang lebih manusiawi, produktif, serta membantu mengurangi beban lembaga pemasyarakatan,” harapnya.(*)